Antara Sains, Teknologi dan Peradaban

Descartes disaat awal merumuskan konsep Geometri Analitisnya mungkin tidak berfikir tentang implikasi moral dan sosial dari konsepnya. Demikian juga seorang Darwin dan juga Newton. Apalagi melihat konsep reduksionisnya Descartes yang kemudian mengilhami pembagian bidang spesialisasi ilmu yang di masa peradaban Islam tidak begitu penting. Sehingga, bisa jadi pengaruh yang diberikan mereka terhadap bentuk perubahan sosial tidak begitu difikirkan mereka. Dalam kalimat lain, bentuk modernisme sebagai bentuk tatanan sosial pengganti tatanan sosial ‘abad kegelapan’ bisa jadi tidak pernah mereka fikirkan bahkan tidak pernah mereka bayangkan. Apalagi dampak negatifnya terhadap kenyataan sosial.

Bersandar dari modifikasi kebijaksanaan para geologist dengan The Present is the key to the past and the future, ‘penyesalan’ ummat manusia terhadap akhir menyakitkan dari modernisme perlu disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kebutuhan mutlak saat ini komunitas saintis dan teknolog terus membangun bentuk pengembagan dan penerapan sains dan teknologi yang mempertimbangkan konsekuensi ekologi, moral dan sosial dari proses inovasi maupun inventory yang mereka lakukan. Karena, dalam kenyataannya teriakan para ahli ilmu sosial dan juga teolog atau ulama tidak akan banyak artinya karena sejatinya Minoritas kreatif atau nukleolus dari sel-sel pembentuk peradaban ini disadari atau tidak adalah saintis dan teknolog itu sendiri.

Namun yang cukup memprihatinkan adalah budaya pragmatis, egois bahkan tertutup (elitis) di kalangan saintis dan teknolog dunia dewasa ini. Bahkan derajat expert di kalangan saintis dan teknolog saat ini tanpa sadar telah membangun sebuah sistem feodalisme baru. Bagaimana kita bisa berharap bahwa peradaban yang akan datang akan menjadi lebih baik jika saintis dan teknolog terlalu egois dengan dirinya dan obsesinya ? Atau di sisi lain kita juga melihat realitas saintis dan teknolog yang ‘nyaman’ ketika dirinya diperalat oleh sebuah sistem politik dan kapital yang sejatinya dengan mudah bisa mereka patahkan.

Perlu kiranya dibangun sistem yang memungkinkan terbukanya kembali sekat-sekat komunikasi antara sains dan teknologi, dari fihak saintis dan teknolog tentunya, dengan disiplin ilmu dan spesialisasi lain tanpa harus memandang bidang ilmu dan kompetensi yang mungkin di dalam sistem feodalisme baru yang mereka anut dipandang lebih rendah. Disamping itu, perlu dibangun sebuah etika profetis (meminjam konsep Kuntowijoyo) di kalangan saintis dan teknolog, sebagaimana layaknya para nabi yang memandang dirinya sebagai sosok pembebebas ummat manusia dari segala penindasan, sebagai sosok yang mendedikasiakan proses inovasi dan inventory-nya untuk pembangunan kembali hakekat kemanusiaan yang nyaris musnah, dan juga sebagai para pengingat ummat manusia akan kenyataan bahwa sejatinya mereka adalah mahluk Tuhan yang tiada lain harus berbuat baik di dunia ini.Budaya runtuh karena kehilangan Fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi.

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya flesibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat -kemampuannya untuk menghadapi tantangan – tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (dari Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981).

Dari deskripsi Toynbee di atas, sepertinya semenjak terjadi revisi di dalam konsep Newton oleh Farady dan Maxwell melalui Teori Medan Listriknya, serta lahirnya teori Fisika Kuantum dan Relatifitas ditangan Heisenberg dan Einstein, minoritas kreatif pembentuk peradaban baru tersebut sedikit demi sedikit telah terbentuk. Bahkan setelah ada interaksi antara matematika tingkat tinggi dengan teknologi elektronika, kita kemudian mengenal bentuk aplikasi teknologi yang dikenal dengan teknologi komputer, yang jauh meninggalkan konsep mekanika newton.

Dunia kemudian juga mengenal adanya pengaruh filosofis dari konsep Fisika Kuantum terhadap realitas sosial, dimana ketika teknologi Komputer berinteraksi dengan realitas sosial, lahirlah sebuah teknologi informasi yang bergerak dalam logika Kuantum yang diprediksikan oleh Tofler akan menjadi tulang punggung bentuk peradaban baru pengganti modernisme. Kemudian kita mengenal bagaimana konsep cepat-lambat mengalami perubahan secara drastis. Juga konsep keterbatasan ruang yang bisa diatasi sehinga konsep jauh dan dekat secara filosofis juga mengalami perubahan makna. Dengan demikian jaring-jaring Cartesian akan sulit untuk mengambarkan karena konsep ruang dan waktu ini sudah berubah secara filosofis. Bahkan perbedaan konsep nyata dan imajiner yang juga kemudian di klaim oleh dunia IT akan segera teratasi akan semakin meninggalkan jaring-jaring Cartesian sebagai satu-satunya yang bisa menggambarkan kenyataan. Juga dengan berkembangnya pemetaan DNA, rekayasa genetika yang meninggalkan konsep evolusinya Darwin. Sekali lagi terbukti, pengaruh dominan Sainstis dan Teknolog ternyata masih sangat dominan untuk menentukan masa depan ummat manusia. Apalagi setelah Ilmuan Sosial Mahzab Kritis dengan Posmodernismenya terjebak dalam wacana dan definisi semata, serta para teolog dan ahli agama yang terus disibukkan dengan perdebatan liberal dan konservatifnya, disdari atau tidak para Saintis dan Teknolog akan tetap menjadi penentu arah peradaban.