Syukur Nikmat Pembuka Barokah

Demikian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain?
Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)

Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (An-Nahl: 53)

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (An-Nahl: 18)
Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Satu Tujuan yang Mulia
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dalam kalkulasi kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan kalkulasi yang baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia telah memberimu kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.1
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut?
Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah l. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti.
Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:

  • Dunia bukan tujuan hidup.
  • Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.
  • Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.

Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,
Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki.
Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala nikmat selainnya akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada empat macam:
Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua: Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ (kerugian) yang hakiki.
Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal, sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di belakang yang akan muncul berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari pengobatan tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam.
Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal. Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh musuh.” (Minhajul Qashidin hal. 281-282)

Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)
Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah l
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tidak kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai oleh Allah l. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna.
Pertama: Mengetahui (pemberian tersebut) adalah sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik). Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.
Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya. Dan bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seorang tamu yang tidak diundang.
Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak
 mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”
Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah k. Dan hal ini sangat dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 277)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah radhiyallahu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu 'anhu: ‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang:
q Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhaan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridha.
Seseorang yang bisa membedakanq keadaannya. Dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah.
Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan. Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.
Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Artinya, ada yang diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ada pula yang tidak.
Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)
Dalil-dalil tentang Syukur
وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur." (Al-Baqarah: 152)
وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan." (Al-'Ankabut: 17)
وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
“Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Ali 'Imran: 144)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu
 ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.
Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur
Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Hal ini tidak bisa dipungkiri oleh orang yang berakal bersih. Sebagaimana orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba`: 13)
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yang beriman. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur nikmat setelah memerintahkan untuk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapatinya sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau: “Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan nikmat yang dia berada padanya dan menambahnya dengan nikmat yang lain.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku sangat pedih) yaitu dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah hadits: ‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa yang diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)

Syukur dan Sabar
Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukurinya, maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat ridha terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari sifat ridha.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk dalam syukur, karena mustahil syukur ada tanpa ridha.” (Madarijus Salikin, 2/242)
Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tidak mau mensyukuri nikmat karena padanya ada dua (sifat) yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Karena tidak tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui nikmat (sebuah pemberian). Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Allah l.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 288)
Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adalah bahwa manusia banyak tidak bersyukur karena ada dua perkara yang melandasinya yaitu kejahilan dan kelalaian.
Mengobati Kelalaian dari Bersyukur
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yang hidup akan menggali segala macam nikmat diberikan. Adapun hati yang jahil (lalai) tidak akan menganggap sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah bala’ menimpanya. Caranya, hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 290)
Wallahu a’lam.
Allah SWT berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 2 : "Allahil lazi ma fii samaawaati wa maa fil ardh" artinya: "Semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah".
apabila dikaji lebih jauh, makna ayat tersebut adalah manusia dan semua mahluk ciptaan Allah hanya mendapatkan "pinjaman" saja. Tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan oleh mahluk melebihi kekuasaan penciptaNYA. Oleh karena status kepemilikan segala yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah, maka sebagai "peminjam" suatu saat nanti harus dikembalikan atau diambil kembali oleh "sang pemilik". Dalam kondisi inilah, tidak sepatutnya manusia mengingkari betapa besar karunia Allah SWT kepada manusia dengan bersikap misalnya: sombong, tinggi diri, takabur, dan lain sebagainya. Sebagai peminjam yang baik, kita seharusnya merawat dan menjaga pinjaman tersebut dengan baik. Tentu saja bentuknya dengan selalu mensyukuri ni'mat Allah dengan lisan dan perbuatan.
Selanjutnya Alah berfirman dalam QS.Ibrahim ayat 7 : "la in syakartum laa adziidanakum wa la'in kafartum inna azabi lasyadid" artinya "sesungguhnya jika (kamu) bersyukur pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-KU) maka sesungguhnya azab-KU akan sangat pedih".
Makna ayat tersebut secara sederhana dapat diartikan, adanya reward bagi yang melakukan (syukur nikmat), namun ada punishment bagi yang tidak melakukan (kufur nikmat). Sejauh ini kita tidak cukup cerdas untuk konsisten memahami betapa rasa syukur itulah yang akan membuat manusia menemukan cahaya illahi dalam kehidupannya. Contoh sederhana adalah betapa nikmat Allah berupa adanya Oksigen atau Zat Asam yang kita hirup untuk tetap hidup. Sampai saat ini tidak perlu dibeli, namun kualitasnya dari waktu ke waktu semakin buruk karena ulah manusia seperti polusi udara, penebangan hutan dan berbagai bentuk kerusakan yang disebabkan oleh keserakahan manusia.Daerah yang semula berudara sejuk dan nyaman untuk ditempati karena terletak di dataran tinggi, kini udaranya ketika siang hari nyaris tidak berbeda dengan daerah dataran rendah atau tepian pantai yang panas.
Untuk dapat mentasyakuri nikmat Allah, harus dilakukan dengan mentafakuri betapa besar kasih sayang Allah. Hal-hal kecil dan besar yang mungkin luput dari pandangan kita sebagai manusia dapat diingatkan untuk selalu disyukuri. Bentuk atau wujud rasa syukur itu dapat dilakukan antara lain dengan beberapa cara :
1. Bersyukur dengan hati dan perasaan
2. Bersyukur dengan lisan
3. Bersyukur dengan perbuatan
4. Bersyukur dengan harta benda
Dengan mensyukuri nikmat Allah SWT manusia akan mendapat berkah dan karunia yang lebih banyak lagi dariNYA, sebagaimana QS Ad-Dhuha ayat 11 : "Dan terhadap Nikmat Tuhanmua, maka hendaklah kamu menyebutNYA (dengan bersyukur)".Demikian pula QS. Ar-Rahman berkali-kali menyebutkan : "maka Nikmat Rabb yang manalagi yang kamu dustakan". Bila masih ada Pertanyaan tentang adanya keraguan kita untuk tidak mensyukuri nikmat Allah, baiknya anda berhenti sejenak dari kesibukan dunia untuk menyadari segeralah bersyukur. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah hidup kita semua. Amien.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam pernah menceritakan (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin
hadits no. 65) (artinya): "Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan
buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka
Malaikat.
Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling
kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan
dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang
jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah
penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan.
Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si
belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh
bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa
yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang
paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang
bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku
ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu,
serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta
apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia
diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah
memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang
paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah
mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun
mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu
bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab:
Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.
Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut
berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi
suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing
memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.
Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang
yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan
berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah
perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan
kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut
Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus
serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si
belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.
Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah
kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa
jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah
memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini
adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu
berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak
waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si
belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian
Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ?
mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta
seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin
yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada
yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya
meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan
penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta
berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan
penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah
apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan
memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha
Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya
kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua
temanmu (si belang dan si botak)."
Di dalam sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang mulia tersebut
banyak terkandung faedah dan pelajaran beharga bagi kaum muslimin.
Tidaklah Rasulullah menceritakan kisah kejadian umat terdahulu melainkan
untuk menjadi pelajaran bagi umat yang datang setelahnya.
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal." (Yusuf: 111)
Tanda Kebesaran Allah subhanahu wata'ala
Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Mampu untuk berbuat apa
saja sesuai dengan kehendak-Nya. Disebutkan dalam hadits ini bahwa Allah
subhanahu wata'ala mampu untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh
ketiga orang tadi dan memberinya kekayaan serta Allah subhanahu wata'ala
pun mampu mencabutnya kembali seperti dua orang tadi yang tidak mau
bersyukur.
Segala apa yang ada di langit dan di bumi ini merupakan milik Allah
subhanahu wata'ala Seseorang yang memiliki harta yang melimpah, tidaklah
kepemilikan itu ada padanya kecuali hanya kepemilikan yang sifatnya
nisbi, kepemilikan yang mutlak hanya di tangan Allah subhanahu wata'ala.
Sewaktu-waktu Allah subhanahu wata'ala berkehendak untuk mengambilnya,
pasti Dia akan lakukan.
Manusia ini adalah makhluk yang sangat lemah, Allah subhanahu wata'ala
mampu untuk membalik keadaan seseorang yang semula kaya menjadi miskin,
yang tadinya sehat dan kuat menjadi sakit dan lemah tak berdaya. Allah
subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
"Katakanlah: Ya Allah Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang
yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Ali
'Imran: 36)
Syukur Nikmat, Sebab Dibukanya Pintu Barakah
Seluruh nikmat yang kita rasakan ini datangnya dari Allah subhanahu
wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman
(artinya):
"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah
(datangnya)." (An Nahl: 53)
Oleh karena itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur kepada-Nya
sebagaimana firman-Nya (artinya):
"Dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja beribadah."
(An Nahl: 114)
Wujud syukur kepada Allah subhanahu wata'ala sebagaimana diterangkan
oleh para ulama adalah dengan meyakini bahwa nikmat tersebut datangnya
dari Allah subhanahu wata'ala yang kemudian dia memuji-Nya,
menyebut-nyebut nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat tersebut
untuk hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya.
Dalam hadits tersebut kita melihat bagaimana si buta ketika dia
bersyukur kepada Allah subhanahu wata'ala. Dia menegaskan bahwa
kenikmatan berupa disembuhkannya dia dari kebutaan dan diberinya harta
kekayaan itu datangnya dari Allah subhanahu wata'ala. Kemudian dia
menginfakkan hartanya tersebut untuk membantu saudaranya yang
membutuhkan. Maka Allah subhanahu wata'ala pun berikan barakah kepadanya
dengan ditetapkannya harta tersebut kepadanya dan dia pun mendapatkan
ridha Allah subhanahu wata'ala.
Dari sini kita bisa mengambil faedah bahwasanya syukur nikmat merupakan
sebab ditetapkan bahkan ditambahkannya kenikmatan tersebut. Allah
subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
"Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk
kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih."
(Ibrahim: 7)

Syukur Nikmat, Benteng dari Adzab Allah subhanahu wata'ala
Ini merupakan janji Allah subhanahu wata'ala sebagaimana firman-Nya
(artinya):
"Mengapa Allah akan mengadzabmu sementara kamu bersyukur dan beriman?"

(An Nisa': 147)
Mengingkari Nikmat, Sebab Mendapatkan Murka Allah subhanahu wata'ala
Berbeda dengan si buta, si belang dan si botak justru mengingkari nikmat
yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada mereka itu dengan
menyatakan: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku.
Mereka mengingkari bahwa harta yang mereka miliki itu merupakan
pemberian dari Allah subhanahu wata'ala. Lebih dari itu mereka enggan
untuk menginfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan.
Maka mereka pun mendapatkan do'a kejelekan dari Malaikat dan mendapatkan
murka dari Allah subhanahu wata'ala.
Demikianlah, barangsiapa yang tidak mau bersyukur kepada Allah subhanahu
wata'ala dan menyombongkan diri bahwa harta yang dimilikinya itu
merupakan hasil usahanya sendiri dan bukan pemberian Allah subhanahu
wata'ala, maka Allah subhanahu wata'ala mengancamnya dengan adzab yang
pedih.
Para pembaca, tidakkah kita ingat akan perkataan Qarun yang diabadikan
di dalam Al Qur'an (artinya):
"Sesunguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku." (Al
Qashash: 78)
Apa yang terjadi kemudian? Allah subhanahu wata'ala tenggelamkan dia
beserta hartanya ke perut bumi. Allah subhanahu wata'ala berfirman
(artinya):
"Maka Kami membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi." (Al
Qashash: 81)
Anjuran Bershadaqah
Hadits tersebut juga menunjukkan kepada kita tentang anjuran untuk
bershadaqah. Tidaklah harta itu berkurang karena shadaqah, dan tidaklah
orang kaya itu menjadi miskin karena dia rajin bershadaqah. Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta." (HR. Muslim)
Justru dengan bershadaqah, harta seseorang akan semakin bertambah,
barakahnya maupun jumlah harta itu sendiri. Allah subhanahu wata'ala
berfirman (artinya):
"Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya dan
Dialah sebaik-baik pemberi rizki." (Saba': 39)
Dalam sebuah hadits Qudsi, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah Ta'ala berfirman: Berinfaklah wahai anak Adam (manusia), pasti
kamu akan diberi gantinya." (HR. Al Bukhari, Muslim)
Orang-orang yang rajin bershadaqah dan jauh dari sifat kikir itulah yang
akan mendapatkan kemenangan. Allah subhanahu wata'ala berfirman
(artinya):
"Dan barangsiapa yang terbebas dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan kemenangan." (Al Hasyr: 9)
Namun yang perlu diingat adalah bahwa keutamaan seperti ini tidaklah
didapat kecuali oleh orang-orang yang ikhlas dalam shadaqahnya dan tidak
mengungkit-ungkit shadaqah yang sudah diberikannya tersebut karena hal
itu dapat menghapus pahala dan keutamaan bershadaqah. Allah subhanahu
wata'ala berfirman (artinya):
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
shadaqahmu dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaan si
penerima)." (Al Baqarah: 264)
Peringatan dari Perbuatan Kikir
Sifat kikir yang ditunjukkan oleh si belang dan si botak tersebut justru
berakibat buruk bagi diri mereka sendiri. Allah subhanahu wata'ala murka
kepada mereka. Orang-orang seperti inilah yang Allah subhanahu wata'ala
nyatakan dalam Al Qur'an (artinya):
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang
untuk berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang diberikan
kepada mereka." (An Nisa': 36-37)
Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
dijalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka dengan adzab yang
pedih." (At Taubah: 34)
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dan hati-hatilah kalian dari kikir, karena kekikiran itu telah
membinasakan orang-orang sebelum kalian." (HR. Muslim)
Para pembaca, dari kisah tersebut kita bisa melihat langsung, apa yang
didapat oleh orang yang dermawan, dan apa pula yang dirasakan oleh orang
yang kikir. Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidaklah seorang hamba berada di pagi hari kecuali dua Malaikat turun
kepadanya, yang salah satunya berkata: Ya Allah, berilah orang yang
berinfak gantinya. Dan yang lain berkata: Ya Allah, berilah orang yang
kikir kerusakan." (HR. Al Bukhari, Muslim)

Demikianlah beberapa faedah yang terkandung dalam hadits ini. Semoga
Allah ? menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya yang bisa mengambil
pelajaran darinya. Amin, Ya Rabbal 'Alamin.