Antara Kemahakuasaan dan Keadilan Tuhan


Artikel kita kali ini adalah tentang kemahakuasaan dan keadilan Allah SWT, yang selalu menjadi perdebatan diantara para teolog. Perlu diluruskan terdahulu bahwa kemahakuasaan dan keadilan Allah itu  mutlak adanya ; tidak perlu diragukan ragi.
Allah SWT telah dengan tegas menyatakan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat, sebagaimana dalam Firman-Nya: ”katakanlah: Tuhanku memerintahkan supaya kamu dapat berbuat adil” (Al-Qur’an 7:29), dan menurut al-Qur’an taqwa tidak dapat dilepaskan atau dekat dengan keadilan ” Berlakulah adil, dan iti lebih dekat pada taqwa” QS.5:8. Arti taqwa dalam Islam tidak hanya menjalankan ibadah saja. Tanpa keadilan sosial rtidak ada ketaqwaan. Dan dalam bidang sosial ‘adl dan ahsan merupakan konsep-konsep pokok dalam al-Qur’an.

Perdebatan tentang teologi keadilan Tuhan ini dipelopori oleh dua madzhab Teologi;  – madzhab wahyu dan madzhab akal budi yang di pelopori oleh kaum Qodariyah dan jabariah yang terlibat dari sejak periode awal pemerintahan Bani Ummayah dalam suatu perdebatan mengenai kemampuan manusia  menciptakan kemammpuan-kemampuan-nya, tetapi perhatian utama mereka pada hakikat-nya adalah politik dan bukan teologis dalam pengertian istilah yang kaku. Perdebabtan antara Neo-Qodariyah dan neo-Jabariah dari generasi berikut-nya menampakkan suatu tingkat sofistikasi yang lebih tinggi dan beermula untuk konsentrasi pada hakikat keadilan. Apakah hal itu sebagai pernyataan dari kemahakuasaan Allah SWT atau keadilan yang Inheren dalam diri-nya dan bagaimana direalisasikan dalam muka bumi walau perdebatan tentang keadilan ppolitik sama sekali tiddak berakhir, aspek-aspek lain teologis atau lain-lain-nya mengobarkan keheebhohan yang lebih besaar telah merefleksikan perhatian publik terhadap dampak aliran-aliran pemikiran baru yang mulai mempengaruhi masyarakat Islam.
Berlalunya keimamahan dari kekuasaan Bani Umayah ke Tampok kekuasaan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H./750 M. menganntar suatu era baru di mana suatu rezim yang relative stabil dan lebih langsung didirikan kembali. Khawariij yang menentang legimitasi Abbasiyah surut dan pada akhirnya lenyap, sekalipun demikian keadilan politik diteguhkaan kembali oleh lawan-lawan-nya klaim kaum syi’ah terhadap keimamaan atas dasar keanggotaan dalam ahlul bait kehilangan banyak makna.

Keadilan sebagai pernyataan akal budi, yang mana kaum mu'tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai pendukung keadilan dan tauhid membawa tradisi kaum khawarij dan kaum qodariah bahwa manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatan-nya sendiri adil dan tidak adil, karena ia akan diganjar atau dihukum di akhirat nanti. Kaum Qodariah dan Jabariyah pertama-tama sependapat atas premis bahwa keadilan itu bersifat ketuhanan, namun demikian mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana keadilan bersifat ketuhanan itu seharusnya direalisasikan di muka bumi

Hasan Al-Basri yang menyatakan bahwa perbuatan baik dari tuhan dan perbuatan buruk dari manusia.
Kaum mu’tazilah menolak kedua doktrin predistinasi Imam Hasa Al-Basri dan penerimaan sebagian pertanggungjawaban manusia. Semua para teolog sepakat bahwa keadilan ilahi itu sempurna, abadi dan ideal, bagi kaum Jabariah keadilan merupakan suatu pernyataan dari kehendak Ilahi dan semua perbuatan manusia, dengan mengabaikan keadilan di nyatakan sebagai suatu kebenaran olehnya. Betapapun Mu’tazilah berpendapat bahwa keadilan merupakan sebagai suatu pernyataan dari esensi Allah dan bahwa dia hanya melakukan yang terbaik bagi manusia. Allah pada hakikatnya tidak melakukan ketidakadilan. Manusia selalu berusaha untuk merialisasikan keadilan Ilahi di muka bumi akan tetapi ia dapat melakukan hal itu hanya dengan sarana akal budi.

Sementara itu Kaum Mu’tazilah mendatangkan kegusaran dan antagonisme pada semua kelompok dari permulaan hingga akhir dalam mencari suatu doktrin keadilan yang koheren dan rasional. Mereka sepakat dengan para teolog lain dengan doktrin keesaan dan kedilan merupakan dua doktrin utama. kaum mu’tazilah tidak sepakat tentang beberapa persoalan.

Ahmad bin Hambal (w.241H/855M.) seorang ahli hadits dan pendiri suatu madzhab hukum muncul sebagai lawan ajaran-ajaran Mu’tazilah yang paling tangguh dan seorang pahlawan yang memperjuangkan kredo para pendukung sunnah atupun paham Sunni. Ia menolak untuk menerima doktrin kreasi (penciptaan) al-Qur’an dan membantahnya bahwa tidak ada bukti bahwa dalam teks al-Qur’an diciptakan (makhluk) ia pun menolak akal budi sebagai metode

Asy’ariah adalah serang pengikut al-jubai tokoh mu’tazilah sebagai seorang peneliti (mhasiswa) teologi yang inkuitif dan kritis, Asy’ari sering mengunjungi beberapa pusat ilmu pengetahuan lainya dan diungkapkan kepada mereka aliran-aliran pemikiran berbeda yang menyeret mereka tenggelam ke dalam konflik dengan gurunya. Sebagai seseorang  yang terdidik ia lebih mampu memimpin suatu gerakan yang menegaskan kembali pada sunnah.

Kita dapat mengambil benang merah dari sekian perdebatan teolog di atas yang diwarnai dengan dorongan politis bahwa Kemahakuasaan dan Keadilan Allah SWT itu mutlak adanya dan tak dapat terbantahkan, juga susah untuk dilogikakan, Kaum Muslim harus menerimanya dengan Ketauhidan yang sebenarnya tidak perlu akal ikut campur di dalamnya.

Mudah-mudahan kita semakin haqul yakin akan kemahakuasaan Allah SWT.