Menyikapi Antropomorfis (Musyabihah)

Mutasyabihat merupakan bentuk isim fi’il, berasal dari kata tasyabaha, akar katanya syabiha ditambah dengan huruf ta sebelum fa fi’il, alif setelah fa al-fi’il dan tad’if pada ain al-fi’il, yang berarti samar atau tidak jelas.

Para ahli bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan persekutuan dalam persamaan yang menyebabkan keruwetan dan kekacauan. Dikatakan tasyabah dan isti’abah atau menyerupai sesuatu dengan yang lain sehingga menjadi samar.

Kata mutasyabih bisa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syibhah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.

Istilah mutasyabihat sebagai lawan kata muhkamat dalam khazanah ilmu tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an, muncul sebagai interpretasi atas Firman Allah pada QS. Al-Imran [3]: 7:

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخرمتشابهات .

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. QS. Ali-Imran [3]: 7.

Secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan mutasyabihat. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atas makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi pula yang sebagian dikutip dari al-Suyuti. Di antara pendapat yang dikemukakan al-Zarqani ialah sebagai berikut:

  1. Mutasyabihat ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya.
  2. Mutasyabihat ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna ta’wil.
  3. Mutasyabihat ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya.
  4. Mutasyabihat ialah ayat yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan, kadang-kadang diterangkan dengan ayat-ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya perbedaan dalam menta’wilnya.
  5. Mutasyabihat ialah ayat yang seharusnya tidak dijangkau dari segi bahasa, kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya, sepeti lafaz mustarak yang masuk dalam pengertian ini.
  6. Mutasyabihat ialah ayat yang terdiri dari isim (kata-kata benda), musytarak dan lafaz-lafaz mubhamat (samar-samar).
  7. Mutasyabihat ialah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafaz mujmal muawwal yang muskil. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Razi.
Abdullah al-Harari (selanjutnya disebut al-Harari) mengemukakan bahwa mutasyabihat secara terminologi ialah dalil-dalil yang pengertiannya belum jelas, serta membutuhkan pemahaman bahasa arab secara mendalam dan juga membutuhkan pengertian makna yang dimaksud dalam pandangan yang khusus serta penalaran makna yang mendalam, dan tidak semua manusia bisa memberikan pembacaan dan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Seperti dalam QS. Taha [20]: 5, lafaz “istawa ”dimaknai dengan “al-qahr” dan “al-Istila”(menguasai dan menundukan).

Masih menurut al-Harari sebagaimana pemahaman ulama salaf, penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna “zahir”ayat tersebut, sehingga metode penafsiran dan pemahaman yang diterapkan ulama salaf terhadap ayat-ayat sifat dengan menggunakan metode ta’wil tafsili dengan mengalihkan makna tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah dan tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya.

Dengan kata lain pengertian mutasyabihat adalah nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu makna dan tidak dimaknai secara “zahir” (makna tekstual), karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Akan tetapi wajib dikembalikan maknanya kepada Allah, berbeda dengan ayat-ayat muhkamat yang maknanya sesuai dengan makna zahir, sehingga ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan maknanya kepada Allah untuk menghindari penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya (tasybih)”ليس كمثله شيئ “.

Menurut pemahaman ulama salaf (baca: Ibn ‘Abbas), ayat mengenai”istawa” tidak ditafsirkan “duduk” (jalasa) atau bersemayam dan berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya, tidak pula diartikan Allah duduk dengan makna lain, karena ulama salaf berpendapat, bahwa segala sesuatu yang duduk dan bersemayam termasuk khusus sifat benda. Lafaz istawa, dita’wil ibn ‘Abbas dengan saida amruhu (naik akan perintah-Nya).

Menurut al-Fayyumi, kata istawa dalam bahasa Arab mempunyai lima belas makna, dengan demikian kata istawa dalam al-Qur’an di-ta’wil dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muhkamat. Dari lima belas makna ini yang selaras dengan sifat Allah adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Sebagaimana interpretasi Imam ‘Ali RA dalam memaknai lafaz istawa dengan mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” .

Penafsiran Qahara (menundukan dan menguasai) dari lafaz istawa adalah pendapat ulama salaf dan khalaf. Penetapan makna ini (qahara) oleh ulama salaf dinilai sesuai dengan sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak menginterpretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak terjebak pada paham Antropomorfisme.

Pengertian lain tentang ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang dapat mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, keluarnya dajjal, tentang surga, neraka dan lain-lain.

Terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat-sifat Allah, para mufassir Salaf meletakkan pentingnya metode ta’wil ijmali yaitu dengan memberi ungkapanيليق به تعالى (dengan pemberian makna yang sesuai dengan keagungan-Nya) sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Namun, di sisi lain ulama salaf juga menggunakan metode ta’wil tafsili yaitu dengan menentukan makna yang sesuai keagungan Allah. Adapun makna ayat-ayat mutasyabihat “yang tidak dapat dipahami” ialah dalam perkara-perkara yang dirahasiakan Allah, seperti kejadian hari kiamat, huruf muqata’ah dan lainnya.

Adapun ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, bukanlah termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya dirahasiakan Allah. Menurut ulama salaf, tidak logis jika sifat-sifat Allah hanya diketahui Allah semata, padahal fungsi Nabi diutus untuk memberikan keterangan dan pemahaman tentang hal yang tidak diketahui umatnya mengenai al-Qur’an tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur’an, bahwa kitab ini diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.

Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian mutasyabihat dan penerapan ulama terhadap ta’wil, diketahui bahwa ta’wil sudah berkembang sejak masa sahabat, seperti yang dipraktikkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas, hal ini sesuai dengan do’a Nabi atas ‘Abdullah ibn ‘Abbas “) “اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويلYa Allah pandaikanlah dia dalam urusan agama dan ajarilah dia tentang ta’wil). Karena inilah ibn ‘Abbas dikenal sebagai sahabat pertama dalam hal ta’wil dan dia sendiri mengomentari dirinya dengan:”انا من الرا سخين في العلم”. Karakteristik dan aplikasinya dalam penafsiran diikuti oleh generasi-generasi setelahnya.

Lingkup Pembahasan Ayat-ayat Mutasyabihat Tentang Sifat Allah.
Dalam al-Qur’an atau Hadis banyak nas-nas yang mengandung pengertian sifat-sifat Tuhan, seperti lafaz “al-wajh” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua belas kali. Penyebutan kenyataan bahwa “Dia berbicara/ mengatakan….”muncul lebih dari lima kali, penyebutan bahwa seseorang atau sesuatu “berada dalam pengawasan-Nya” terjadi sebanyak lima kali. Allah sebagai Sami (Maha Mendengar) disebutkan lebih dari empat puluh kali dan Basir (Maha Melihat) juga lebih dari empat puluh kali. Wajah orang-orang yang takwa akan memperoleh kebahagian karena dapat memandang-Nya di akhirat kelak. Seringnya penyebutan ini mengangkat makna penting subyek, dan ungkapan-ungkapan seperti ini memperteguh keberadaan sifat-sifat itu pada Dzat Allah.

Kajian mengenai ayat-ayat sifat Allah, baik yang lahir dari ayat-ayat muhkamat maupun mutasyabihat, selalu menjadi perdebatan oleh para teolog (Mu’tazilah, Musyabbihah, Ahlussunnah) dalam memahami sifat Allah pada ayat-ayat tentang sifat tersebut. Mayoritas ulama mempertahankan keabsolutan sifat-sifat qadim Allah, seperti Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Maha Menerima pujian, Maha Pemberi, Maha Pemurah, dan Maha gagah. Sedangkan pada bagian lain tidak menetapkan pemahaman tentang sifat sebagaimana makna literal dalam ayat-ayat sifat Tuhan, seperti “dua tangan dan “wajah”. Dari sinilah lahir pembahasan terhadap ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat, seperti ketika mengatakan bahwa tangan Allah ada di atas tangan orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad SAW, secara literal ayat ini bermakna bahwa Tuhan mempunyai tangan, padahal mustahil Tuhan mempunyai tangan. Interpretasi yang diberikan ulama Salaf bukanlah dengan tangan seperti makna literal lafaz “al-yad”, tetapi lafaz “al-yad”di-ta’wil dengan perjanjian atau kekuasaan yang harus disikapi sebagai kepatuhan kepada Tuhan, dan akan sangat logis bila lafaz “al-yad” mempunyai makna yang sifatnya transendental. Seperti juga lafaz “istawa”, secara lahiriyah ia bermakna “bersemayam”, ulama Salaf melakukan ta’wil guna memahami kandungan ayat tersebut. Di sini, lafaz “istawa” dita’wil sebagai sifat kekuasaan-Nya.

Selanjutnya, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani memberikan pengertian terhadap makna “al-Sifat”, adalah sifat yang wajib adanya bagi Tuhan, seperti kalangan ulama salaf mereka menetapkan adanya sifat Allah yang azali dari sifat: “al-Ilm, al-qudrah, al-Hayat, al-Iradah, al-Sama, al-Basar, al-Kalam, al-Jalal, al-Ikram, al-Jad, al-In’am, al-Izzah, al-Uzmah”. Mereka juga tidak membedakan antara sifat-sifat zat (esensi) dan sifat-sifat al-fi’il (operatif), tetapi mereka menempuhnya dengan cara yang sama, begitu juga menetapkan “al-sifat al-Khabariyah” seperti lafaz”al-Yadain” dan “al-Wajh”. Dengan hal ini mereka sebagian tidak merincinya, tetapi menetapkan sesuatu yang tersirat dalam al-Qur’an, dan mereka menyebutnya sebagai sifat-sifat yang diwahyukan atau dinamakan sebagai “al-sifat al-khabariyyah”.

Penyerupaan Allah dengan mahluk sebenarnya sudah tertolak dengan penolakan pengertian adanya anggota badan bagi Allah dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung pengertian sifat Allah, sedangkan yang menjadi dasar pendapat para teolog tersebut biasanya dikutip saat menolak pendapat kaum Antropomorfis.

ليس كمثله شئ وهو السميع البصير ( الشورى 11)

Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al-Syura:11).

Ayat di atas merangkum semua isu sentral yang banyak dibahas dalam karya-karya teologi Islam.”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” menetapkan Allah sebagai yang Unik dan berada dari semua mahluk.” Dia bukanlah sebuah substansi (jawhar), kesatuan unsur (jism), atau aksiden (arad), tidak bertempat, atau berada dalam waktu. Dia-lah yang Awal dan tak ada sesuatu sebelum Dia yang Akhir dan tak ada sesuatu yang bisa dikatakan muncul setelah Dia”. Ungkapan ini seperti dikatakan sayf al-Din al-Amidi (w.631 H) dalam bab tentang penolakan atas Antropomorfisme, ibtal al-tasybih dalam bukunya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam. Jisim, jawhar dan ard adalah tiga bagian wujud yang diciptakan oleh Allah, ketiganya bersifat baru (muhdas\at), sehingga mustahil Allah menyerupai ketiganya.

Pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat sifat cukup beragam. Secara garis besar interpretasi menyikapi sifat-sifat Allah terbagi dalam tiga pemahaman dengan tiga golongan yang mewakilinya. Yaitu:
  1. Komunitas yang menolak sifat-sifat Allah, nafi al-sifat, atas dasar bahwa sifat-sifat itu akan mengurangi keesaan-Nya. Inilah pendapat kaum Mu’tazilah yang oleh para penentangnya dijuluki sebagai ta’til.
  2. Pendapat kaum Antropomorfis yang terkenal sebagai tasbih/tajsim.
  3. Pendapat orang-orang yang mengambil jalan tengah yang diwakili oleh ahl al-Hadis (yakni mereka yang menjadikan Hadis Nabi sebagai dasar argumen) dan kaum Asy’ariyah.
Kaum Antropomorfis memaknai ayat-ayat sifat secara literal sebagaimana adanya, seperti sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat merupakan dua sifat yang bisa membawa kepada paham Antropomorfisme. Kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat (nafi al-Sifat), dan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang selain esensinya, dan bahwa al-Sami’ dan al-Basir merupakan nama-nama Allah seperti halnya al-Rahman dan al-Rahim.. Kaum Asy’ariyah menegaskan adanya keberadaan sifat-sifat, dan berbeda dengan pendapat kaum Antropomorfisme, mereka tetap berada dalam prinsip”tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuknya saja, dan bukanlah seperti sifat mahluk-mahluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan mereka.

Sedangkan mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan Wajah Allah, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Wajah Allah mengandung arti Allah sendiri (berbeda dengan Antropomorfis yang menyatakan sebagai wajah fisik Tuhan), mengingat sudah lazim dalam bahasa Arab penggunaan kata “wajah” dengan maksud orang yang bersangkutan. Sebaliknya, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki wajah, bahwa wajah-Nya, merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya, sifat Dzat. Berdasarkan prinsip tanzih/mukhalafat li al-Hawadis\ bahwa “tidak ada sesuatu yang berlaku bagi mahluk yang boleh dinisbatkan kepada Allah dalam pengertian yang sama. Kaum Asy’ariyah, berbeda dengan kaum Mu’tazilah menganggap bahwa mereka tidak menyimpangkan makna dalam ungkapan al-Qur’an, sehingga juga tidak seperti kaum Musyabbihah, mereka tidak terjerumus ke dalam bahaya antropomorfisme.

Asy’ariyah dalam memberikan interpretasi menyimpulkan pendapat ahl al-Hadis yang menyatakan: “Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini kecuali apa yang telah difirmankan Allah yang Maha kuasa dan apa yang disabdakan oleh Nabi, karena itu kami katakan: Dia betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan perinciannya”.

Dari beberapa pernyataan tentang sifat Tuhan dan interpretasinya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, peneliti merangkum, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat mempunyai paham terhadap adanya sifat Tuhan, seperti Ahlusunnah secara umum percaya kepada adanya sifat-sifat Tuhan tanpa merinci bagaimana, dan pendapat kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij yang menolak sifat-sifat Tuhan. Pemahaman ketiga golongan tersebut berbeda antar satu golongan dengan golongan yang lain, tergantung pembacaan mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis.

Pengaruh Mutasyabih At al-Sifat terhadap Perkembangan Firqah-firqah dalam Islam
Pemahaman yang beragam pada ayat-ayat sifat merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam Islam, di samping pertikaian yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah ‘Us\man ibn ‘Affan yang berujung pada pada pertikaian antara Muawiyah dan ‘Ali ibn Abi Talib. Perpecahan itu memunculkan firqah-firqah dalam sejarah Islam. Muncul pertentangan dan perdebatan di antaranya: Mu’tazilah dengan konsepnya peniadaaan sifat-sifat Tuhan. Dengan mempertahankan satu atribut tentang kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah Maha Esa dan Maha adil. Dalam usaha memurnikan paham keesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat banyak unsur, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang melekat kepada zat. Dan bila Tuhan dikatakan mempunyai 20 sifat, maka Tuhan akan tersusun dari 21 unsur, bila 40 sifat, maka unsur-Nya akan berjumlah 41 dan bila dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadim, sedang menurut Mu’tazilah dalam paham teologi, Qadim itu esa. Apabila Iman dalam ajaran biasa ialah: Tiada Tuhan selain Allah, maka iman dalam bahasa teologi mengambil bentuk: Tiada yang Qadim selain dari Allah. Jika sifat-sifat itu Qadim, maka secara tidak langsung sifat-sifat itu adalah sekutu Allah. Paham ini akan membawa kepada syirik, dan menurutnya syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Tuhan.

Untuk mengatasi paham syirik inilah, maka Wasil mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini tidak berarti bahwa Wasil dan pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir dan sebagainya seperti halnya Ahlussunnah dan Musyabbihah, mereka menerima kebenaran ayat-ayat itu sebagaimana kebenaran seluruh ayat lainnya. Bagi Mu’tazilah, al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, al-Al pemuka kedua Mu’tazilah: Tuhan Maha Tahu dengan pengetahuan dan pengetahuan Tuhan adalah zat-Nya.

Mengenai teks al-Qur’an, menurut Mu’tazilah tidak selamanya mesti dimaknai secara literal. Ayat-ayat al-Qur’an di samping mengandung arti harfiah, juga mengandung arti metaforis. Selanjutnya mereka berkeyakinan bahwa antara pendapat akal yang benar dan wahyu tidak ada pertentangan. Karena, apabila arti secara lafaz ditinggalkan dan diambil arti majazi atau metaforis, maka pertentangan yang ada akan hilang dengan sendirinya. Perumpamaan mereka ditujukan kepada teks al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan dan kursi, sedangkan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan dan kursi, karena Tuhan tidak berbentuk jasmani dan sebagainya. Dengan demikian mereka mengambil arti metaforis, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Dari uraian di atas diketahui sebenarnya Mu’tazilah mempraktekan ta’wil, hanya saja cara menjelaskan tentang sifat dan zat berbeda. Praktik penta’wilan mereka adalah dengan pemakaian makna metaforis terhadap ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat).

Ketika pemahaman Mu’tazilah tentang sifat Tuhan sudah terbentuk, muncul kelompok ekstrem dari kalangan Syi’ah, yaitu golongan Muhaddis, golongan Haswiyyah, mengakui paham Antropomorfisme yang merupakan paham yang sangat kontra dengan paham Mu’tazilah. Menurut mereka Tuhan memiliki bentuk dan mempunyai anggota tubuh dan bagian-bagian yang bisa bersifat spritual maupun fisik, sehingga memungkinkan bagi Tuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, turun-naik, tetap atau benar-benar duduk. Hal ini diriwayatkan olah Asy’ari berdasarkan otoritas (informasi berita dari) Muhammad ibn Isa bahwa Mudar, Kuhmus, dan Ahmad al-Hujaimi memperkenalkan kemungkinan manusia menyentuh Tuhan dan menjabat tangan-Nya di dunia maupun di akhirat, asal saja dalam ikhtiar spritual, mereka mencapai sebuah tingkatan kesucian hati yang memadai serta penyatuan yang murni dengan Tuhan. Ka’bi meriwayatkan bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan ini, dan bahwa Tuhan dengan manusia bisa saling menziarahi. Pemahaman-pemahaman yang muncul ini merupakan implikasi dari pemahaman ayat-ayat sifat Tuhan. Lebih ekstrem lagi ketika Dawud al-Jawaribi diberitakan telah mengatakan:

“Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang kelamin wanita atau janggut, tetapi engkau boleh menanyaiku tentang sesuatu yang lain. Ia juga mengatakan Tuhan adalah jisim, daging, dan darah. Dia mempunyai anggota tubuh, seperti dua tangan dan dua kaki, kepala dan lidah, dua mata dan dua telinga, meskipun demikian, Dia adalah sebuah jisim yang berbeda dengan jisim-jisim yang lainnya, daging yang berbeda dengan daging lainnya, dan darah yang berbeda dengan darah lainnya. Demikian pada sifat-sifatnya yang lain. Dia tidak menyerupai mahluk apa pun, demikian pula mahluk tersebut tidak menyerupainya. Ia juga mengatakan Tuhan adalah lembah dari atas hingga dada-Nya, sedangkan sisa dari-Nya adalah tanah juga. Dia memiliki rambut yang panjang, hitam dan ikal”.

Sedangkan mengenai lafaz-lafaz dalam al-Qur’an (mutasyabih ayat al-sifat) seperti istawa (bersemayam), wajh (wajah), yadain (dua tangan), janb (sisi), maji (datang), ityan (datang), fauqiyah (berada di atas) dan sejenisnya dipahami oleh golongan Musyabbihah secara literal, yaitu sebagaimana kata-kata tersebut dipahami ketika digunakan dalam konteks jisim. Demikian pula kata-kata yang ditemukan dalam hadis, seperti surah (bentuk) dalam sabda Nabi “Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan yang Maha pengasih”, Tuhan membentuk tanah liat Adam dengan tangan-Nya selama empat puluh hari”, “Tuhan meletakkan tangan-Nya atau telapak tangan-Nya di bahuku”, “Sampai aku merasakan dinginnya jemari tangan-Nya di bahuku. “Kalimat-kalimat di atas mereka pahami secara literal sebagaimana pemahama mereka tentang jisim.

Al-Syahrastani berpendapat, bahwa interpretasi Musyabbihah telah menciptakan kebohongan dan menghadirkan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi umumnya hadis-hadis itu diambil dari orang-orang Yahudi, di mana Antropomorfisme dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Mereka lebih jauh mengatakan bahwa kedua mata Tuhan sakit dan para Malaikat datang menghibur-Nya bahwa Dia menangisi banjir Nuh hingga matanya menjadi merah bahwa Arsy di bawah-Nya berbunyi seperti sadel baru di atas unta. Golongan Musyabbihah juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,” Tuhan menemuiku, berjabat tangan denganku, bergumul denganku, dan meletakkan tangan-Nya di antara pundaku hingga aku merasakan dingin jemari tangan-Nya”.

Doktrin lain dari interpretasi Musyabbihah, mereka berkeyakinan bahwa suku kata, suara dan karakter yang tertulis dari al-Qur’an semua sudah ada sebelumnya (pre-eksis) dan bersifat Qadim-azali. Menurut mereka sebuah ucapan yang tidak tersusun melalui huruf-huruf atau kata-kata tidak bisa dipahami. Untuk mendukung pendapat ini, mereka menggunakan hadis-hadis, misalkan mereka mengutip sebuah sabda bahwa Musa biasa mendengar perkataan-perkataan Allah yang mirip dengan suara rantai yang diseret. Mereka juga mempertahankan bahwa umat Islam terdahulu percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak diciptakan dan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa kitab tersebut diciptakan, berarti ia tidak beriman kepada Allah. Dari beberapa interpretasi ayat-ayat sifat, kaum Musyabbihah memberikan pengaruh sangat signifikan, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat sifat (mutasyabih ayat al-sifat) secara literal lebih dominan dengan dalil dari Hadis yang dijadikan sebagai alat nalar dalam nuansa eksegesisnya.

Hal ini berbeda ini dengan Ahlussunnah (selanjutnya disebut Asy’ariyah) yang menggambarkan manusia mempunyai tingkatan dalam menginterpretasi tentang diri dan penciptanya. Ketika manusia belum mengenal siapa diri dan Tuhannya, tentu dia akan mencoba menginterpretasi secara bertahap. Pertama ia akan mengenal dirinya setelah itu ia akan mencoba mencari siapa pencipta mereka. Setelah melalui perenungan mereka berpendapat bahwa penciptaan dilakukan oleh suatu zat yang di luar dirinya, yang Maha Pengasih, Maha Memberi, Maha kuasa, serta sifat-sifat Maha lainya. Dan zat itu mereka sebut dengan Tuhan. Oleh karena Tuhan (Allah) dapat dikenali dari tindakan-tindakan yang merupakan penjelmaan dari sifatnya sifat-sifat ini tidak dapat ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukkan bahwa Dia Maha Pengasih, Mahakuasa dan Maha Berkehendak.

Oleh karena itu, Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang bisa dikenal dari tindakan-tindakan-Nya: sifat-sifat ini tidak bisa ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan Maha Berkehendak, demikian pula tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan berkehendak. Menurutnya pula, tidak ada perbedaan dalam hal keabsahan mengenai apa yang disimpulkan, apakah ia manifes atau tersembunyi. Lagi pula, “Yang Maha Mengetahui” sebagaimana yang dilekatkan pada Tuhan, pada kenyataanya, tidak memiliki arti selain bahwa Dia memiliki pengetahuan “Yang Mahakuasa” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki kekuasaan “Yang Maha Berkehendak” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki berkehendak. Dengan demikian, melalui pengetahuan lahirlah keteratuaran dan kesempurnaan melalui kekuasaan, segala sesuatu muncul dan berwujud melalui kehendak, lahirlah ketentuan masa, ukuran dan bentuk. Manakala sifat-sifat ini dianggap berasal dari zat, maka sifat-sifat itu tidak dapat dipertimbangkan, kecuali apabila dikatakan bahwa zat tersebut ” hidup” dengan “kehidupan”.

Golongan Asy’ariyah merupakan para pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari. Abu Hasan mengatakan, bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan melihat dengan penglihatan-Nya. Asy’ariyah berpegangan pada pandangan bahwa setiap maujud dapat dilihat, sebab kemaujudanlah yang membuat sesuatu bisa terlihat. Allah itu maujud. Oleh karena itu, Dia dapat dilihat. Mereka juga mengetahui dari wahyu, bahwa orang-orang yang beriman akan melihat-Nya di hari kemudian sebagaimana firman Allah: “wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat” Demikian pula, ayat-ayat dan hadis-hadis yang serupa mengenai melihatnya Allah diinterpretasikan dengan tidak memerlukan arah, tempat, bentuk, atau berhadap-hadapan apakah dengan tabrakan sinar atau kesan, semuanya tidak mungkin.

Ada dua pandangan yang diriwayatkan Asy’ariyah perihal sifat dasar dari penglihatan terhadap Allah. Pertama, pandangan ini merupakan sebuah jenis pengetahuan yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan yang eksis daripada yang non eksis kedua, merupakan sebuah persepsi di luar pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek terhadap benda yang dipersepsikan, tidak pula sebuah efek yang berasal darinya. Asy’ariyah juga mempertahankan bahwa mendengar, melihat adalah dua sifat Allah yang qadim. Tetapi ada juga persepsi yang berada diluar pengetahuan, yang berhubungan dengan objek-objek mereka yang sebenarnya, asal saja objek-objek tersebut eksis.

As’ariyah berpegang bahwa dua tangan dan wajah adalah sifat-sifat yang diberitahukan dari Allah karena, sebagaimana ia jelaskan, wahyu bertutur mengenai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Asy’ariyah mengikuti umat Islam generasi awal (salaf) yang tidak berusaha menafsirkan sifat-sifat tersebut (tafwid, taslim), meskipun, menurut satu pendapat yang diriwayatkan, mereka memperkenalkan penafsiran. Sebagaimana Ahmad ibn Hanbal, Dawud ibn ‘Ali al-Asfahani yang mengikuti para Muhaddis awal, seperti Malik ibn Anas dan Muqatil ibn Sulaiman. Penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan pada ayat yang ambigu mereka katakan:

“Kami beriman dengan segala apa yang diberitakan di dalam Kitab dan sunnah, dan kami tidak mencoba untuk menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak menyerupai mahluk apa pun, dan bahwa semua pencitraan yang kami bentuk mengenai Dia diciptakan oleh-Nya dan dibentuk oleh-Nya. Dan sebaiknya kita katakan sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan, “semuanya berasal dari Tuhan kami” kami beriman dengan apa yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah kami tidak wajib mengetahui sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu dari unsur-unur dasarnya”.

Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, bahwa perbedaan yang terjadi sebagaimana pemaparan di atas merupakan aplikasi pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat sifat, sehingga melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Sebagaimana penulis gambarkan, terdapat tiga aliran yang sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman terhadap ayat-ayat sifat, yaitu Mu’tazilah yang berbeda dengan Ahlussunnah dan keduanya berbeda pula dengan Musyabbihah. Pemahaman-pemahaman yang diuraikan di atas, merupakan wacana yang berkembang dalam khazanah keislaman yang sangat mungkin dikritisi lebih lanjut, karena percaturan dalam teologi Islam–terutama dalam kajian ayat-ayat tentang sifat Tuhan–mempunyai banyak masalah yang harus dilihat secara objektif.