Adakah Bid'ah Hasanah?

Bid'ah dalam agama mempunyai pengertian setiap perkara baru yang tidak pernah dikerjakan di zaman Rasulullah saw. Bid'ah dilarang, merusak aqidah dan sangat berbahaya untuk kehidupan beragama, sehingga Rasulullah saw seolah mengancam dengan bahasa keras bahwa setiap bid'ah sesat dan setiap yang sesat adalah neraka tempatnya.

Akan tetapi, sekelompok kaum muslimin ada yang mengklasifikasikan bid'ah kepada dua bagian, yaitu: bid'ah sayyi'ah atau madzmumah (yang tercela) dan bid'ah hasanah atau mahmudah (yang terpuji). Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah saw:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء
"Barang siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun (HR Muslim).
Hadits ini mereka perkuat dengan beberapa contoh dari amalan para sahabat yang dianggap sebagai legitimasi adanya bid'ah hasanah. Diantara amal sahabat tersebut adalah : 
  • Pertama, apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatab ra ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjama'ah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjama'ah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini". 
  • Kedua, kodifikasi (pengumpulan teks) al-Qur'an pada masa Abu Bakar ash-Shidiq ra. Ide ini dilatarbelakangi oleh banyaknya para sahabat Nabi Penghafal al-Qur'an yang syahid dalam perang Yamamah, sehingga dikhawatirkan dengan meninggalnya mereka al-Qur'an tidak terpelihara. 
Amal sahabat tersebut, didukung oleh pendapat para ulama yang memandang adanya bid'ah hasanah. Di antaranya, pendapat Imam Syafi'i, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab Jami' al-Ulum wal-Hikam: Imam Syafi'i berkata: Bid'ah itu ada dua macam: bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Yang sesuai dengan sunnah maka ia terpuji, adapun yang bertentangan dengan sunnah, maka ia tercela." 
Kemudian pendapat Imam Izz bin Abdis-Salam dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam fil Masa ilil Anam yang mengklasifikasikan bid'ah kepada lima kategori: 
  1. Bid'ah Wajibah (Bid'ah Wajib)
  2. Bid'ah Muharramah (Bid'ah yang Diharamkan)
  3. Bid'ah Mandubah (Bid'ah yang Disunatkan)
  4. Bid'ah Makruhah (BId'ah yang Dimakruhkan)
  5. Bid'ah Mubahah (Bid'ah yang Diharuskan)
Dan pendapat Imam An-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wal-Lughat yang menyetujui dan menguatkan pembahagian yang dibuat oleh Imam Izzis bin Abdis-Salam. Untuk menguatkannya, beliau menambah dalam tulisannya itu pembagian Imam Syafi'i sebagaimana tersebut di atas. 

Jika memperhatikan dalil dan pendapat para ulama tentang bid'ah hasanah, maka seolah-olah bid'ah hasanah tersebut benar adanya. Akan tetapi jika kita perhatikan secara teliti, kita akan mendapatkan bahwa pendapat tersebut tidaklah tepat. Istidlal dengan hadits tadi: "Man sanna sunnatan hasanatan" tidaklah tepat. Hadits tersebut jelas sekali menyerukan untuk menghidupkan sunnah, bukan menghidupkan bid'ah. Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sunnatan hasanatan adalah sebuah cara yang ada dasarnya dalam agama. Ketika ditanya tentang klasifikasi bid'ah kepada sayyi'ah dan hasanah, Syaikh Shalih Fauzan, seorang dosen Aqidah dari Universitas Islam Madinah menjawab bahwa klasifikasi bid'ah kepada sayyi'ah dan hasanah itu tidaklah berlandaskan dalil, sebab Rasul saw bersabda bahwa setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu masuk neraka. 

Adapun perkataan Sayyidina Umar ra "Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini" setelah mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat tarawih berjama'ah, tidak bisa dijadikan dalil. Sebab shalat tarawih berjama'ah ada dasarnya pada zaman Rasulullah saw, Rasul pernah beberapa kali shalat tarawih berjama'ah dengan para sahabat, akan tetapi tidak diteruskan karena khawatir dianggap sebuah kewajiban. Maka yang dimaksud bid'ah di sini adalah bid'ah secara bahasa, karena substansi amal yang dilakukan Sayidina Umar ra tidak termasuk perbuatan bid'ah. 

Demikian juga ketika Abu Bakar mengomandoi gerakan kodifikasi al-Qur'an, tidak bisa dikatakan sebuah bid'ah, sebab itu ada dasarnya. Sejak zaman Rasulullah saw al-Qur'an sudah ditulis, meskipun baru pada pelepah kurma, dedaunan, bebatuan, dan sebagainya. Bahkan Rasul saw memerintahkan para sahabat untuk menulis al-Qur'an dan melarang menulis al-hadits karena khawatir tercampur. al-Qur'an pun sudah terjaga dalam tulisan dan hafalan para sahabat. Kalaulah kemudian Abu Bakar melakukan kodifikasi, itu hanya sebatas mengumpulkan tulisan-tulisan yang ada dengan proses yang detail dan teliti. Tidak termasuk bid'ah karena ada dasarnya pada zaman Nabi saw. 

Adapun pendapat Imam Syafi'i tentang bid'ah mahmudah maka yang dimaksud oleh beliau adalah bid'ah secara bahasa. Di antara bukti bahwa Imam Syafi'i tidak mengkategorikan bid'ah dalam ibadah sebagai bid'ah mahmudah ialah bantahan beliau terhadap golongan yang terus menerus berdzikir dengan suara keras setelah shalat. Amalan ini dianggap bid'ah hasanah oleh sebagian pihak. Ketika mengomentari hadits Ibn Abbas ra tentang mengeraskan suara dalam berdzikir setelah shalat (HR. Ahmad : 3298) Imam Syafi'i dalam kitab utamanya, al-Umm mengatakan: 
"Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah berdzikir setelah selesai shalat dengan suara pelan. Kecuali seorang imam yang bermaksud agar orang-orang belajar darinya, maka ia boleh menjaharkan sehingga apabila orang-orang sudah belajar darinya hendaklah ia melakukannya dengan suara pelan". (al-Umm I : 150).
Jelas sekali bahwa Imam Syafi'i tidak mengkategorikan ini kepada bid'ah hasanah. Justru beliau berusaha agar kita semua beribadah sesuai dengan contoh Rasulullah saw. Seandainya maksud bid'ah mahmudah yang disebut oleh Imam as-Syafi'i mencakup perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu beliau akan memasukan dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat dalam kategori bid'ah mahmudah. 

Adapun pendapat imam Izz bin Abdis-Salam, beliau mungkin orang pertama yang mengklasifikasikan bid'ah kepada lima macam. Sebenarnya faktor utama pembagian tersebut merujuk kepada ta'rif bid'ah yang disebutnya pada awal kitab tersebut yang mencakup bid'ah dari segi syara' dan bahasa. Buktinya beliau menyebut ta'rif bid'ah dengan berkata: 
البدعة فعل مالم يعهد في عصر رسول الله
"Bid'ah adalah perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw". (Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam II : 133)
Dengan definisi ini beliau ingin menegaskan bahwa hakikat bid'ah menurut syara' adalah setiap perkara yang tidak pernah ada zaman Rasulullah saw. Adapun pembagian sebelumnya tidak lepas dari pengertian bid'ah secara bahasa. 

Adapun pendapat imam Nawawi tentang bid'ah hasanah, inipun tidak terlepas dari pengertian bid'ah secara bahasa. Sebab secara syar'i, Imam An-Nawawi pun menolak bid'ah dalam urusan ibadah. Hal ini tergambar dari beberapa pendapat Imam An-Nawawi pada amalan-amalan yang sering dilakukan oleh sebagian orang. Diantaranya dalam syarah shahih muslim Imam An-Nawawi mengatakan: 
"Sesungguhnya yang menjadi sunnah untuk salam dalam shalat ialah dengan mengucapkan: 'Assalamu'alaikum warohmatullahi' ke sebelah kanan, 'Assalamu 'alaikum warohmatullahi' ke sebelah kiri. TIdak disunnahkan menambah 'wabarokatuh'. Sekalipun ia disebut dalam hadits dlaif dan diisyaratkan oleh sebagian ulama. Namun ia adalah suatu bid'ah karena tidak ada hadits shahih. Bahkan yang shahih dalam hadits in idan yang lainnya ialah meninggalkan tambahan itu". (Shahih Muslim Syarah Nawawi : : 115). 
Diantaranya juga, dalam kitab majmu' syarhul muhadzdzab Imam An-Nawawi menyetujui tokoh-tokoh madzhab Syafi'i yang membantah jamuan atau kenduri pada kematian. Beliau mengatakan: 
"Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayyit dan mengumpulkan orang banyak untuk menghadirinya adalah tidak diriwayatkan dari Nabi saw sedikit pun. Ia adalah bid'ah yang tidak disukai". (Al-Majmu' Syarah al-Muhadzzab V : 320).
Imam An-Nawawi tidak menamakan kenduri pada kematian sebagai bid'ah hasanah, tetapi sebagai bid'ah madzmumah. Ditambah pemaparan sebelumnya, ini menegaskan bahwa pendapat para ulama tentang bid'ah hasanah, tidak lepas dari pengertian secara bahasa. Sebab ternyata mereka sepakat bahwa di dalam agama tidak boleh membuat satu syari'at baru yang tidak pernah ada dasarnya pada zaman Rasulullah saw. 
Wal-lohu waliyyut taufiq...