Tradisi Bid'ah Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw

Tradisi perayaan di Indonesia sangat beragam termasuk di dalamnya maulid Nabi Muhamad Saw. Di setiap bulan Rabiul Awwal setiap tahun berbagai acara digelar, seolah itu tradisi wajib yang harus dilaksanakan. Padahal telah disadari oleh umumnya kaum muslimin itu tidak pernah dilakukan di masa Nabi Saw.

Tradisi bercampur anggapan ibadah bulan Rabi’ul Awwal terkait dengan perayaan maulid Nabi membuat banyak tulisan yang menjelaskan bahwa perayaan maulid tidak ada tuntunannya di dalam Islam alias Bid'ah. Dengan memohon pertolongan Allah, sedikit bahasan ini akan memaparkan alasan mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah sehingga tidak seyogyanya seorang muslim merayakannya. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.
Pengertian ringkas bid’ah, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:
“Yang dimaksud dengan bid’ah adalah setiap perbuatan yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perbuatan tersebut” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/127)
Berdasarkan pengertian di atas, maka ada dua poin penting yang dapat diambil :
  • Bid’ah hanya berkaitan dengan masalah agama
  • Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam agama.

Hukum perayaan maulid sebagai perbuatan bid’ah

Bagi kaum muslimin yang merayakan hari kelahiran Nabi ini menganggap maulid adalah ibadah dan perayaan yang sangat agung yang dapat mendatangkan keridhoan Allah Ta’ala dan syafa’at Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maulid Nabi adalah perayaan yang rutin digelar setiap tahunnya sehingga maulid Nabi termasuk hari ‘ied dimana banyak dari kaum muslimin berkumpul di hari tersebut.
Definisi ‘ied/ perayaan :
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “’Ied adalah istilah yang diambil karena berulangnya sesuatu untuk sebuah perkumpulan besar. Bisa jadi yang berulang adalah tahun, pekan, bulan, atau semisalnya” (Fathul Majid, hal. 267)
Dengan demikian, maulid dapat dikategorikan sebagai hari ‘ied berdasarkan pengertian di atas karena kesesuaian sifat-sifatnya, sama-sama rutin dan sama-sama merupakan perkumpulan besar kaum muslimin.
Penentuan ibadah atau hari ‘ied kaum muslimin membutuhkan dalil. Akan tetapi, untuk menentukan suatu hari itu adalah ‘ied atau bukan maka membutuhkan dalil dari Al Qur’an atau As Sunnah.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan (suatu hari sebagai) ‘ied kecuali yang ditetapkan oleh syari’at sebagai hari ‘ied. Hari ‘ied (yang ditetapkan syari’at) tersebut adalah ‘iedul fithri, ‘iedul adha, hari-hari tasyrik dimana ketiga ‘ied tersebut adalah ‘ied tahunan, serta hari jum’at dimana hari jum’at adalah ‘ied pekanan. Selain dari hari-hari ‘ied tersebut, maka menetapkan suatu hari sebagai hari ‘ied yang lain adalah kebid’ahan yang tidak ada asalnya dalam syari’at” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 228)

Tidak ada dalil satu pun yang mensyari'atkan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Tidaklah akan ditemukan satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Hukum maulid Nabi Muhammad Saw.
Dengan dasar definisi bid’ah di atas serta melihat penjelasan tentang ‘ied sebelumnya, maka yang dapat kita simpulkan adalah : Maulid adalah sebuah perayaan rutin (‘ied) yang tidak memiliki landasan sama sekali dalam agama sehingga tergolong perbuatan baru yang diada-adakan (baca : bid’ah).

Inilah alasan pokok mengapa maulid dikategorikan sebagai bid’ah. Maulid adalah perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya sama sekali, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

و إياكم و محدثات الأمور فإن كل بدعة صلالة
“Waspadalah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau berkata : “hadits ini hasan shahih”)
Terdapat kemiripan dengan perayaan orang kafir/ Tasyabuh. Selain tidak memiliki landasan agama, perayaan maulid Nabi juga menyerupai perayaan yang diadakan oleh orang nasrani yang merayakan hari kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salam sehingga dikategorikan sebagai bid’ah.
Imam As Suyuthi rahimahullah berkata, :
“Termasuk ke dalam perbuatan bid’ah yang mungkar adalah : menyerupai orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya mereka dan perayaan mereka yang terlaknat sebagaimana yang dilakukan banyak orang awam dari kaum muslimin yang turut serta dalam perayaan orang nasrani pada Khamis al Baydh dan lainnya” (Al Amru bil Ittiba’, hal. 141, dinukil dari ‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 80)
Dan bila disyari'atkan perayaan maulid nabi ini, mungkin saja Nabi dan para sahabat melakukannya jika mau, tetapi kenyataannya memang tidak pernah dilakukan di zaman Nabi dan para sahabatnya.

Perayaan maulid Nabi menurut pendapat Ulama yang terkenal dengan pembaharuannya, Ibnu Taimiyyah berikut ini. Beliau rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi-pen) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)
Seandainya Rasulullah, para sahabat, tabi’in, maupun 4 imam mazhab mau merayakan maulid Nabi, tentu mudah bagi mereka untuk merayakannya. Faktor pendorong merayakan maulid sudah ada, yakni kecintaan mereka kepada Nabi yang teramat besar, ditambah lagi tidak ada faktor yang menghalangi mereka untuk merayakannya. Namun, mengapa mereka tidak merayakannya? Apa sih susahnya maulidan? Hal ini semata karena keyakinan mereka bahwa maulid bukanlah ajaran Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”

Syaikh Al Albani berkomentar, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullahu Ta’ala. Jawaban ini adalah senjata ampuh bagi orang yang gemar berbuat bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan alasan isinya adalah zikir dan sholat! Merekapun mengingkari ahlus sunnah dengan memanfaatkan alasan tersebut. Mereka menuduh bahwa ahlus sunnah mengingkari zikir dan sholat! Padahal sejatinya, yang mereka ingkari adalah penyelisihan mereka terhadap sunnah dalam berzikir, sholat, dan sejenisnya” (Irwa-ul Ghalil, 2/236, dinukil dari‘Ilmu Ushul Al Bida’, hal. 71-72)

Itulah masalah yang ahlus sunnah ingkari bukanlah zikir dan sholat itu sendiri, akan tetapi penyelisihan terhadap sunnah itulah yang menjadi poin penting pembahasan ini. Bagaimana tidak? Menyelisihi sunnah berarti menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita semua untuk selalu meneladani beliau. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua dan membimbing kita untuk senantiasa berpegang kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, kehormatan, dan kecukupan. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a, serta semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Wallahu a’lam.
Amalan serupa ini seperti : bid'ah tahlilan kematian.